zurich

zurich
Kolateral di tengah kota, Zurich Course Interventional Neuroradiology, Agustus 2016

Laman

Senin, 19 November 2018

Kita yang Lalai...

Laju jalanmu yang terus menderu...
Melalaikan akan jati dirimu
Kau habiskan pagimu, siangmu, sepanjang malammu.....
Tanpa rasa, tanpa jera....

Entah dimana Allah dalam harimu, karena Dia tak lagi utama...
Sesungguhnya hidupmu telah hilang dan lekang...
Nilai hidup bak loyang, karena emas engkau tinggalkan
Kau berlari menuju gersang, saat subur kau lupakan...

Rutinitasmu tiada melupakan, namun melalaikan...
Hidupmu bagai putaran tak terhentikan,
Namun mendadak akan terhenyak, berhenti dalam abadi

Usiamu berangsur menggusur kuatmu...
Menggusur liatmu...
Kuatmu tak menjadikanmu kokoh...
Liatmu tak menjadikanmu teguh...
Perlahan waktu berjalan, menuju akhir
Dan itu kau sadari, tak kau lupakan, namun kau lalaikan...

Terus menerus lalai adalah mula petaka...
Hentikan selagi bisa...
Atau datang sesal abadi tiada ganti......

Bandar Lampung, 18 November 2019

Kelu di Malam Maulid

Ya Rasul....
Malam ini,...aku termangu
Wajahku kelu berbalut malu
Serasa aku bukan ummatmu
Jauh sungguh dari sunnahmu

Ya Rasululullah, Ya habiballah....
Karena malu lidah membeku
Namun terus berjuang melafalkan shalawat keatasmu
Lalai akan jalanmu, seolah membuatku tak layak....
Melantunkan shalawat,
Melafalkan Nama Agungmu.....

Ya Rasulullah....
Sungguh tak layak menatap wajah indahmu....
Wajah yang menerangi gelap....
Yang kuharap, sudilah cahaya itu menghampiri wajahku...
Cahaya yang memercikkan berkah doa dan syafaatmu...

Allahumma Shalli 'alaa Muhammad....wa aali Muhammad

GA, Denpasar-Surabaya, 19 Nov 2019

Kamis, 27 September 2018

Mencari Lagi Cahaya Cordoba


Sayup-sayup masih terdengar
Kata dan kalimat yang guru ajarkan
Akan sejarah kebudayaan Islam
Tentang kejayaan Cordoba
Tentang kemegahan Granada

Hari itu Minggu, akhir September
Kereta cepat pergi meninggalkan Malaga,
Merunut kisah, menelusuri sejarah
Kujejakkan kaki di bumi Cordoba,
Kota dengan beribu cerita yang melegenda

Langkah demi langkah terus ku-ayun
Berhenti tepat didepan menara menjulang
Menara persegi empat dengan warna memudar
Seolah berkisah tentang Cordoba lama
Kisah raja-raja dan ilmuwan terkemuka
Karena mereka Cordoba bercahaya
Dulu kala menjadi pusat peradaban Eropa

Kudengar menara mengeja nama-nama,
Mulai Ibnu Rusyd, Ibnu Malik, sampai Al Idrisi
Ada pula Ibnu Hazm, Ibnu Hayyan, sampai Az Zahrawi
Nama yang tak asing lagi, nama yang menginspirasi

Menara memanggilku memasuki Masjid-nya
Mezquita de Cordoba, demikian orang mengenalnya
Masjid indah dengan arsitek megah,
Dengan pilar-pilar kokoh menjulang
Tampak cahaya dari celah-celah atapnya
Pilar yang seolah tak tahan untuk berkisah,
Tentang Cordoba masa jaya,
Pilar yang tak tahan berkeluh kesah,
Kala tak ada lagi bahu penuntut ilmu bersandar
Kala tiada lagi dzikir dan puja pada sang Maha
Sedang suara Adzan-pun kini tiada

Terpekur bisu di depan mihrab Mezquita
Samar-samar tampak kaligrafi menghiasinya
Goresan ayat Al-Qur'an membuat bergetar
Kaligrafi berwarna keemasan tampak berpendar
Menjadikan mihrab indah menawan,
Mihrab ini menjadi saksi
Saksi ibadah para bangsawan, ulama dan ratusan ilmuwan
Semua bergerak simultan, bersamaan, satu gelombang
Saat itu kejayaan dunia dan agama dalam satu genggaman tangan

Kucari kini pendar cahaya Cordoba
Kesetiap sudut Mezquita
Kesetiap sudut Kota
Di reruntuhan Medina Azahara
Entah mengapa....
Lentera itu lenyap, aku tak dapat menemukannya
Adakah cahaya itu pergi, berpindah ke lain negeri ?
Negeri Islam yang mana ? Aku Ingin mengunjunginya
Akan ku kejar cahaya itu kemanapun pergi
Akan kutuai, kugenggam erat ...
Kan kubawa pulang ke negeriku sendiri
Kusemai, kusirami, kupupuk sepenuh hati
Aku bermimpi.....
Kelak cahaya Cordoba berpendar kembali
Pendar itu berasal dari negeriku sendiri,
Pendar kedua, keseluruh dunia, setelah Cordoba

Cordoba, 23 September 2018

Kamis, 23 Agustus 2018

Penuntut Ilmu, Kemana Hati Kau Bawa ?

Marilah kita bertaqwa kepada Allah SWT. Taqwa memiliki komponen lahiriah dan batiniah. Taqwa lahiriah merupakan permulaan hidayah. Taqwa lahiriah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mencapai ketaqwaan batiniah. Mustahil seseorang mencapai ketaqwaan batiniah sebelum melaksanakan ketaqwaan lahiriah. Mustahil mencapai yang akhir sebelum melalui yang awal.

Taqwa adalah menunaikan apa-pun perintah Allah dan Rasulnya, serta menghindari apapun larangan Allah dan rasulya. Ketakwaan lahirian adalah mentaati perintah Allah dan Rasulnya dan menghindari larangan-Nya dengan melaksanakan syariat agama. Agar amalan syariat yang secara lahirian kita lakukan sempurna, maka kita harus mempelajari ilmu agama sesuai tuntunan. Bagaimana cara berwudhu yang benar, bagaimana cara sholat dengan memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna. Mengetahui dengan baik syarat dan rukun dalam ibadah apapun yang kita kerjakan, baik ibadah wajib, maupun ibadah sunnah.

Setelah kita melaksanakan tuntunan tersebut secara lahiriah. Kita tidak boleh berhenti di permulaan, yaitu tatkala kita sudah berpuas diri dan merasa cukup, merasa baik, merasa sholeh, setelah menjalankan amalan lahiriah tersebut. Adakalanya kita sudah merasa bertakwa, saat kita melaksanakan sholat, zakat, puasa, haji, membaca al-qur’an, bersedekan dan sebagainya. Kita lupa bahwa Allah tidak menerima amalan yang berupa amalan lahirian saja, namun Allah menilai juga ketakwaan batiniah kita.

Ketika kita menjalankan Kurban, maka syariat Kurban yang kita laksanakan merupakan permulaan takwa kita, namun apabila hanya berhenti disitu. Maka tentu tidak bernilai dihadapan Allah.

“Allah berfirman : 
Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” 
(Al Hajj : 37 )

Yang dimaksudkan dari sembelihan qurban bukanlah untuk sekadar menyembelih saja. Tidaklah sampai kepada Allah  sedikitpun dari daging dan darahnya, karena Allah maha kaya lagi terpuji, tetapi yang sampai kepada Allah adalah keikhlasan dalam menyembelihnya dan mengharap pahala serta keridhaanNya semata.

Bukankah, banyak orang berpuasa yang hanya mendapat lapar dan dahaga saja, namun amalan itu kemudian dilemparkan ke wajah-wajah mereka di akhirat, karena hanya berhenti pada amalan lahiriah dan tidak memperdulikan amalan batiniah.

Mungkin kita melihat, ada orang yang rajin sholatnya, namun juga rajin menyalahkan amalan orang lain, rajin mencaci amalan orang lain, bahkan mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengannya dalam masalah furu’ dalam agama.

Ada orang yang fasih membaca Al-Qur’an, fasih juga dalam mencela orang lain. Bacaan Al Qur’an hanya berhenti di tenggorokannya, tidak masuk ke dalam kalbunya. 

Ingatkah kita kisah Sahabat Ali Ibn Abi Thalib, Sang Pintu Ilmu. Pada 17 Ramadan, tanggal mulia yang masyhur dikenal sebagai peristiwa Nuzulul Qur'an, tanggal yang juga dikenang sebagai tonggak kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar, adalah tanggal di mana Sahabat Ali Karramallahu Wajhah ditikam pada subuh menjelang shalat. (Riwayat lain menulis 19 Ramadan). 

Apakah penikamnya orang kafir ? ternyata bukan ! Dia adalah Abdurrahman ibn Muljam. Sosok yang menghabiskan waktu di siang hari dengan berpuasa, malam hari dengan qiyamul lail, dan konon hafal al-Qur'an. Kawan Ibn Muljam lainnya ditugaskan membunuh Sahabat Muawiyah bin Abi Sufyan dan Sahabat Amr bin Ash Radliyallahu 'anhuma

Jika kedua Sahabat ini terhindar dari kematian saat itu, maka tidak dengan Sang Pintu Ilmu. Beliau justru gugur di tangan pembunuh yang meneriakkan “La Hukma illa Lillah, Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” sembari menikam tubuh menantu Baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. 

Ketika ditangkap, Ibnu Muljam berteriak meronta sembari mengutip firman Allah: 
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).

Bukanlah ini suatu paradoks ? bagaimana orang melaksanakan syariat Allah, melaksanakan sholat, rajin qiyamul lail, pengahafal Al-Qur’an, juga seorang pembunuh manusia mulia dalam waktu yang mulia, yaitu pada waktu subuh, hari Jumat dan di bulan Ramadhan,

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk melaksanakan amalan lahiriah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Dan semoga Allah memberikan petunjuk dan anugrah kepada kita kebersihan jiwa, keikhlasan, jauh dari penyakit hati dan mendapatkan kecintaan Allah pada hari akhir nanti.

Dalam kehidupan keseharian, kita sering melihat. Ada orang yang banyak sedekahnya, membangun masjid, menyantuni yang lemah, disaat bersamaan mengambil hak orang lain, melakukan perbuatan koruptif dan melalaikan amanah. 

Banyak kita melihat, orang yang baik dan tampak sholeh, mereka angkat tangan-tangan mereka berdoa pada Allah, tangan-tangan yang sama juga mereka gunakan untuk mendzalimi sesama manusia. Lidah-lidah yang memohon kepada Allah, adalah juga lidah-lidah yang menyakiti sesama muslim.

Orang-orang yang tadi disebutkan, yang secara lahirian melakukan amaliah sesuai perintah agama, tampak sebagai orang yang melaksankan ketakwaan dalam beragama, namun hanya berhenti pada ketakwaan yang bersifat lahir, yang sesungguhnya merupakan ketakwaan semu. Ketakwaan sesungguhnya tatkala seseorang melakukan yang lahir, namun juga menghiasi jiwa dengan sifat terpuji dan mebersihkan jiwa dari sifat tercela.

Ya Allah…Ya Rahman, marilah kita raba diri kita masing-masing, jangan-jangan orang yang tadi disebutkan adalah diri kita sendiri. Jangan-jangan perbuatan itu semua adalah perbuatan yang sering kita lakukan. Sungguh, kita seharusnya tidak pernah berhenti memohon ampun dan mengharap kasih sayang Allah semata. Karena banyak diantara kita yang berbuat kebaikan, bahkan merasa baik, ternyata kebaikan itu hanyalah fatamorgana, banyak diantara kita yang tampak sholeh, bahkan merasa sholeh, kesholehan itu hanya rekayasa semata. Pada akhir zaman ini, banyak diantara kita yang mungkin seolah-olah baik dan seolah-olah sholeh secara lahiriah, tatkala segala sesuatu bisa dipoles dan direkayasa, namun hanya Allah yang tahu kebaikan dan kesholehan kita secara batiniah.

Semoga kita terhindar dari apa yang difirmankan Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 104.

“ Mereka yang paling merugi lantaran kesesatan upaya mereka di kehidupan duniawi ini, dan mereka mengira bahwa mereka berbuat bajik.”

Marilah kita memohon ampun kepada Allah, jangan-jangan selama ini kita merasa diri kita baik, namun sebenarnya tidak demikian. Dan sungguh, sebagai hamba tidak ada dari kita yang sungguh-sungguh baik, karena itu selama minimal 17x sehari, dalam sholat kita selalu berdoa pada dalam dalam surat Al-Fatihah, ihdinas shirathal ustaqiim. Karena kita selalu memiliki potensi menjauh dari kebenaran, kita mohon terus kepada Allah agar kita selalu didalam jalan yang lurus.

Semua kita yang hadir disini adalah para penuntut ilmu. Karena menuntut ilmu adalah aktivitas sepanjang hayat, mulai dari ayunan bunda sampai liang lahat. Para mahasiswa, dosen, karyawan dan profesi lain yang pada dasarnya adalah para penuntut ilmu. Dalam menuntut ilmu, para penuntut ilmu dianjurkan untuk terus-menerus cenderung pada kebenaran. 
Ada 3 golongan penuntut ilmu menurut Al-Ghazali, marilah kita berkaca diri kita termasuk yang mana.

1.    Orang yang menuntut ilmu demi kehidupan akhirat akhirat. Dalam menuntut ilmu, dia mengharap hanya ridho Allah dan kebahagiaan ukhrawi. Menuntut ilmu hanya sebagai wasilah dan perantara menuju akhirat.

2.    Orang yang menuntut ilmu demi memperoleh gelar semata, memperoleh jabatan, nama besar dan harta berlimpah. Dia menyadari bahwa hal ini tak patut. Orang semacam ini berada dalam bahaya. Jika ajalnya datang, sedangkan ia belum bertobat, maka maka berahirlah kehidupannya di dunia secara su’ul khatimah. Namun, bila sempat bertaubat, sebelum ajalnya tiba, mengamalkan ilmunya dan melakukan apapun yang telah diabaikannya, ia akan selamat di akhirat. 

3.    Orang yang terpengaruh setan. Dia menjadikan ilmunya sebagai sarana untuk menumpuk harta, untuk memperoleh nama, dan untuk berbangga diri dihadapan manusia, lantaran banyak pengikutnya. Dengan ilmunya, dia merambah setiap jalan yang dapat mewujudkan dambaan-dambaan duniawinya. Meskipun demikian, dia merasa bahwa dirinya mempunyai kedududkan tinggi di sisi Allah. Orang semacam ini termasuk orang yang akan dibinasakan di akhirat dan termasuk orang yang bodoh dan terperdaya, karena tiada lagi baginya harapan untuk bertaubat, sebab dia mengira bahwa dirinya termasuk orang yang berbuat kebajikan.

Semoga kita termasuk dalam kelompok pertama, sedapat mungkin kita dapat menghindari menjadi kelompok kedua, karena banyak yang menemui ajal sebelum sempat bertaubat. Namun, kita berlindung pada Allah untuk menjadi kelompok yang ketiga.

Marilah kita terus menerus bersyukur kepada Allah. Allah yang mengajarkan kita apa yang sebelumnya tidak kita ketahui, Allah yang mengajarkan manusia padai berbicara. Apabila Allah dengan mudah memberikan kita Ilmu, demikian pula Allah sangat mudah mencabut  dan menghapus ilmu dari otak kita. 

Masih basah dalam ingatan, dari sekian banyak pasien stroke yang kami rawat di rumah sakit, sebagian dari mereka adalah orang-orang berilmu. Dalam waktu sekejap Allah menghapus ilmu dari memori mereka. Ilmu yang didapat selama bertahun-tahun, sekolah diluar negeri dalam waktu yang lama, menjadi guru besar dalam berbagai bidang, saat Allah mengambil kembali ilmu tersebut, habislah sudah semuanya. Seolah-olah Allah mengembalikan kembali pada titik awal mula dilahirkan, bahkan untuk berkomunikasi sulit, tak mampu bicara dan tidak memahami pembicaraan orang lain.

Sungguh manusia sangat lemah. Kita dan siapakah diri kita adalah apa yang kita pikirkan dan yang kita ingat. Tatkala ingatan dan memori itu telah sirna, maka kita tidak lagi memiliki pengetahuan, bahkan mengenal diri kita sendiri kita tak mampu.

Sesungguhnya ilmu hanya milik Allah, dan Allah akan mencabut ilmu tersebut kapan saja mencabutnya.

Menutup khutbah ini, tentang kehidupan dunia dan akhirat, marilah kita renungkan nasehat Sahabat Ali Ibnu Abi Thalib R.A, di akhir hayat beliau, kepada kedua putranya, Hasan dan Husain. Beliau berkata (dalam kitab Nahjul Balaghah) :

Ketahuilah, wahai anakku....
Kau diciptakan untuk kehidupan akhirat, bukan dunia...
Kau diciptakan untuk ke fanaan, bukan kebakaan....
Kau diciptakan untuk kematian, bukan kehidupan yang langgeng...

Sering-seringlah mengingat maut dan memikirkan keadaan setelahnya...
Sehingga, dia mendatangimu dalam keadaan dirimu telah siap menerimanya...
Jangan sampai dia datang secara tiba-tiba....
Sedang engkau tergagap-gagap menerimanya....

Jagalah dirimu dari perbuatan hina, meskipun mungkin perbuatan itu mendatangkan sesuatu yang menjadi keinginanmu. Apa gunanya “keuntungan” yang dicapai dengan kejahatan ? Jangan sekali-kali memperhambakan dirimu kepada siapapun, sedang Allah menciptakanmu sebagai manusia merdeka.

Apabila ada keinginan untuk bertaubat, segeralah bertaubat, karena maut bisa datang demikian cepat dan dapat menjadi penghalang antara kau dan niatanmu itu. Jika demikian, sungguh engkau menjadi penyebab kebinasaan bagi dirimu sendiri.



Rabu, 22 Agustus 2018

Doa Sebelum Tidur....

Ya Allah.....
Bangunkanlah aku pada saat yang paling Dikau senangi, sehingga Dikau dekatkan aku kepada Diri-Mu Sendiri, dan jauhkanlah aku sejauh-jauhnya dari murka-Mu.
Aku bedoa kepada-Mu, dan Dikaulah yang memberi...
Aku mengupayakan ampunan dan Dikaulah yang mengampuni...
Aku menyeru-Mu, dan Dikaulah yang menyahuti.......

(Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah)

Minggu, 19 Agustus 2018

Nasehat untuk Anak.....

Ketahuilah, wahai anakku....
Kau diciptakan untuk kehidupan akhirat, bukan dunia...
Kau diciptakan untuk ke fanaan, bukan kebakaan....
Kau diciptakan untuk kematian, bukan kehidupan yang langgeng...

Sering-seringlah mengingat maut dan memikirkan keadaan setelahnya...
Sehingga, dia mendatangimu dalam keadaan dirimu telah siap menerimanya...
Jangan sampai dia datang secara tiba-tiba....
Sedang engkau tergagap-gagap menerimanya....

(Disarikan dari Nahjul Balaghah; Mutiara kearifan Ali Ibn Abi Thalib R.A)

Senin, 13 Agustus 2018

Pergi di Akhir hari.....

Kemanakah engkau hendak pergi,
Tampakmu terus melaju mengikuti hari,
Tapak kakimu terus berjalan,
Seolah dunia tiada tepian

Ingatlah telah ditentukan suatu hari, 
Dimana engkau tak bisa melangkah lagi,
Saat terhenti semua keinginan hati
Bahkan berniat saja pun tak mampu lagi

Sungguh.....
Alangkah indah, alangkah cerah…
Saat di akhir hari hatimu khusyuk…
Semua energimu duduk tertunduk, 
Hanya satu saja, tiada yang lain
Hanya Allah saja, Allah lagi, Allahu Rabbi…

Namun kau dapati....
Wajahmu tampak penuh duka…
Kau datang, penuh dengan kebodohan, 
Kau datang, penuh dengan kesombongan,
Kau datang dengan kemiskinan hati, 
Merasa baik, merasa suci...

Kau tertunduk lesu,
Karena kau tak mampu mengandalkan sholatmu yang penuh lalai,
Kau tak tega mengandalkan amalmu yang penuh dusta
Karena baikmu hanya fatamorgana, sholehmu hanya rekayasa

Sungguh andai akhir hari itu datang…..
Kasih sayangNya sajalah yang kau harapkan…
Mungkin ada setitik kebaikan yang tidak kau sadari, 
yang tak sengaja kau kerjakan, 
justru mejadi wasilah penghapus dosa…

Karena saat kau kalkulasi, 
ternyata amalmu hanyalah debu tak berarti….
Sementara disana, api menyala sudah menanti….
Dia Yang Maha Perkasa, dapat Menghukummu dengan keadilan-Nya
Namun, hanya Kasih SayangNya semata, yang setiap masa selalu kau pinta….dapat membebaskanmu dari bencana.

Sabtu, 11 Agustus 2018

Wajah Pemimpin, Wajah Siapa ?

Biasa sajalah kawan, datarkan kerut dahimu…
Kau sendiri yang mengatakan politik hanya wasilah
Silat lidah dan retorika tak perlu berpanjangan
Tak perlu drama dan silang sengketa

Kau inginkan Negeri ini seperti apa ?
Saat di pimpin politisi, kau bilang bisa jadi sarang korupsi
Saat di pimpin pengusaha, kau bilang negeri jadi lumbung dosa
Saat di pimpin ulama, kau bilang agama tergadai jadi tak berharga
Lalu, Kau inginkan di pimpin siapa ?

Kau khotbahkan bahwa,
Pemimpin harus cerdas, tangkas, jujur dan sholeh….
Nyatanya, tokoh idolamu dulu yang tampak cerdas dan tangkas tak lagi jujur saat menjabat….
Nyatanya, tokoh panutanmu dulu yang jujur dan sholeh tak seperti harapanmu, benar pudar dengan berjalannya waktu….
Ataukah seperti banyak akademisi, yang melangit saat berargumentasi, nyatanya masuk bui saat jadi praktisi…
Nyatanya, pemimpin ‘harus’ dalam katamu, hanya ‘ada’ dalam mimpimu

Santai dulu saja kawanku, hilangkan urat tegangmu….
Siapa lagi tokoh impianmu untuk Negeri ini,
Sebutkan saja semuanya….
Ternyata, yang kau dukung itu, hanya karena mereka sepaham denganmu
Ternyata, yang kau bela itu, hanya karena mereka dari kelompokmu
Nyatanya, semua yang kau unggulkan hanya karena sesuai inginmu

Maka, sungguh kau tidak sedang memilih mereka
Sungguh engkau tidak sedang memilih pemimpin Negeri ini
Engkau sedang memilih dirimu sendiri
Engkau hanya membela dirimu sendiri
Engkau hanya ingin melampiaskan nafsumu sediri

Datar sajalah wahai kawan….
Pemimpin yang ada dihadapanmu adalah cermin dirimu
Tak perlu kau tunjuk wajah mereka dengan amarah
Jelek wajahmu, mengapa cermin kau belah…..?

Sabtu, 04 Agustus 2018

Akhir Hari di Bangsal Neurologi.....

Banyak kali kami temui, pasien sakaratul maut di bangsal neurologi. Inilah tempat pasien tak sadarkan diri, baik karena stroke maupun infeksi. Ada pula tumor, trauma, dan ensefalopati.

Kala mulai tak sadarkan diri, kala itu tak ada yang dapat mereka ucap lagi, kecuali yang lama tertanam dalam memori. Saat kesadaran mulai menurun, hilanglah atensi, pudarlah konsentrasi, terucaplah apa yang biasa terucap. Adakah terucap dzikir dan puji, ataukah umpatan caci maki. 

Banyak kami saksikan, saat menurun kesadaran, pasien tak berhenti membaca Al Qur'an. Banyak kami lihat, dalam kondisi amat berat, yang terucap hanyalah sholawat.

Namun, sering pula kami jumpai, dalam gelapnya akhir hayat, tak ada tasbih, tak ada puji, hanya teriakan tiada henti.

Sakaratul maut demikian beratnya. Terkadang hanya terucap kata, tak mampu terucap kalimat. Lidah kelu, otak beku. Tatkala ada bisikan menuntun, menyebut nama Allah, tidak juga dapat terucap asma-Nya, kecuali yang biasa mengucapkannya, tak juga terucap lafadz-Nya, kecuali yang biasa mengingat-Nya.

Ya Allah, Ya Rabbi....Anugerahilah kami, orang tua kami, keluarga kami....akhir hayat husnul khatimah....Aamiin.

Jumat, 27 Juli 2018

Guru Kita, Nun di sana

Hampir sepuluh tahun lalu kami menghampirinya. Menangkupkan kedua tangan, menampung tetes-tetes ilmu yang jatuh dari kerja kerasnya. Kala itu, kami kehausan, dan tak seorangpun rela memberikan meski setetes. Kala itu kami bodoh, buta dan tuli. Beliau bukakan mata kami dari tabir tebal, sehingga tersingkap warna-warna indah dunia nyata. Beliau tuntun tangan kami, bagaimana melakukan gerakan indah dan terampil dalam ruang operasi.

Kemudian,
beliau tunjukkan jalan bagaimana melaluinya, mengatasi rintangan sekaligus menyelesaikannya. Langkah-langkah dan diskusi intens, bergantian dengan interaksi hangat sepanjang hari. Ada kejadian, ada pelajaran, dan ada pengalaman emosional.
Tatkala kami lemah, beliau dukung dan bangkitkan. Tatkala kami lalai, beliau lecut dan ingatkan.

Beliua seolah orang tua kami, yang bisa marah dan merajuk pada anak nakal-nya. Tetapi, lapang dada dan keluasan jiwa, tetap akan menempatkan kami semua dalam memori dan kasih sayangnya.

Namun, kesibukan kami telah melupakan kami akan beliau, yang makin menua...makin perasa....
Seolah kami tak lagi memerlukannya, karena kami telah mereguk semua ilmunya....
Seolah kami tak lagi memperdulikannya, karena kami telah dapat mengambil ilmu dari siapapun...
Kami lupa,....bahwa dari beliau kami belajar mengeja, dari uluran tangan beliau kami berdiri dan berjalan.
Kami lupa, benar-benar lupa, tanpa beliau kami bukanlah apa-apa.....

GA 307, Surabaya-Jakarta, 2018

Minggu, 01 Juli 2018

Jejak Yang Tak pernah Punah

Lama sudah masa ke masa,
Rasanya baru kemarin saja
Duapuluh empat tahun yang lalu,
Kala tapak pertama kaki melaju,
Kemudian tereguklah beribu ilmu

Kutatap erat pilar per pilar
Kutatap erat ruang sekitar
Masih belum berubah
Bersahaja dan apa adanya

Sosok menyejukkan, sosok mencerahkan
Berwibawa dan penuh pesona
Hari perhari, setiap hari
Membasuh otak dan hati kami
Mulai subuh, sampai subuh kembali

Hari ini, ....ya ...di hari ini
Kami merindukan beliau lagi
Sungguh belum pupus rasa dahaga
Belum tuntas rasa bersama

Beliau yang saat berkata,
Begitu runtut kata per kata
Beliau yang saat bertutur,
Begitu sejuk kami merasa

Qiraat Qur'an mengawali kajian tafsir,
Masih ter-ngiang dalam telinga
Nasihat sufiah menghujam dada,
Masih terasa kini atsar-nya

Mungkin di sini kami tak lama,
Seolah masa sepintas saja
Namun berkah itu amat terasa,
Menegur sapa dunia nyata

Terimakasih kami haturkan,
Doa tulus kami panjatkan
Bagi beliau guru panutan,
Berharap berkah suri tauladan

Haul Almagfurlah K.H. Yusuf Muhammad
P.P. Darussholah, Ahad 1 Juli 2018.

Minggu, 24 Juni 2018

Setengah Baya

Setengah baya masa usia
Setengah tua orang menyebutnya
Matahari hidup melewati ubun-ubun
Menuju masa usia senja

Setengah baya masa usia
Mungkin puncak sukses manusia
Saat matang dalam berkarya
Penuh energi, penuh inspirasi

Setengah baya masa usia
Apakah yang tampak wahai hamba.....
Adakah terpatri amal terpuji
Atau masih lalaikan Tuhan tiada henti
Sungguh,...... inilah gambaran akhir hayat nanti

Tak lama lagi,
Tak begitu lama lagi,
Pendulum usia menuju akhir
Menuju senja, dan makin meredup
Saat kaki berat menapak
Kala kecerdasan mulai memudar
Semua menjadi lemah
Butuh bantuan saat melangkah

Setengah baya masa usia
Inilah titik mula kedua, 
Ada kesempatan menuju mulia
Atau betapa, akan hina dina selamanya
Saat menghadap Sang Kuasa.

(Surabaya-Denpasar, 24 Juni 2018)

Sabtu, 10 Maret 2018

Menghikmati Pesan Sang Maha

Dalam pesawat, di atap dunia
Di atas bergulungnya milyaran awan
Sungguh tiada arti massa diri hamba
Akulah debu angkasa tiada berguna

Semesta raya ukuran tak terkira
Besar, lebar, dalam, luar biasa...
Itupun apa dicapai panca indra
Di luar indra, tiada mampu kita mengukurnya

Oh....sungguh ilmu manusia sebatas indra
Hilang indra, hilang ilmunya
Sedang indra, hanya otak sekepal saja
Tiada otak, tiada lagi nilai manusia

Maka, apa dikata tentang semesta
Semesta yang tak mampu untuk di indra
Dari mana kita dapat beritanya
Hanya Sang Pencipta yang dapat mengabarkannya

Pesan itu datang....
Saat malam buta,
Menghampiri seorang manusia
Hamba teragung di alam raya

Aku, kita, bahkan semua manusia
Yang hidup bersama dan setelahnya
Sungguh harus mendekat
Sungguh harus merapat
Agar dapat mengerti
Agar dapat menghikmati
Pesan Tuhan Sang Maha segala
Atas rahasia alam semesta yang tak mampu di indra

Muara dari semua adalah cinta
Mencintai Sang Pencipta sepenuh dada
Saat sekepal otak dipenuhi cinta
Akan datang cahaya
Menerangi relung relung jiwa
Mencari keabadian cinta hakiki
Dalam rahmat dan ridho Ilahi Rabbi.

GA 305, Surabaya Jakarta, 10 Maret 2018

Sabtu, 17 Februari 2018

Mutiara Sang Pencari

"Siapa saja yang ilmu dan amalnya tidak menambah kebutuhan dan kerendahan hati kepada Allah, ia orang yang binasa."


" Jangan sebarkan ilmu agar orang-orang membenarkanmu. Tetapi, sebarkanlah ilmumu karena Allah, agar Allah membenarkanmu."


"Hakikat ilmu tentang kebaikan yaitu mengamalkannya; sedang hakikat ilmu tentang kejahatan yaitu meninggalkannya."


"Jangan senang hajatmu terkabul sebagai imbalan doamu, tanpa merasa senang bermunajat dengan Kekasihmu. Kalau demikian, kau termasuk orang yang terhalang dari Allah."


(Risaalatul Amiin, Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, hidup 591-656 H)