zurich

zurich
Kolateral di tengah kota, Zurich Course Interventional Neuroradiology, Agustus 2016

Laman

Minggu, 01 Januari 2017

Kegalauan para (Wali) Murid

Di saat dunia disinari terik ketidakpastian, ada kekhawatiran tentang masa depan generasi penerus. Kekhawatiran ini, berkaitan dengan kesiapan generasi untuk berkompetisi di dunia nyata, dan kesiapannya dalam menjadikan dirinya sebagai hamba Tuhan-nya.

Kegalauan muncul di kalangan orang tua, dalam usaha memaksimalkan intelektualitas putra-putrinya, seiring dengan spiritualitas mereka. Seolah, sekarang kedua hal ini memiliki kutub berbeda. Jika satu kutub dimaksimalkan, maka kutub lain akan terabaikan. Sebagaimana kehidupan dunia dan akhirat, yang silih berganti saling mendominasi, menurut Imam Al-Ghazali, mengambil salah satu akan menjauhkan yang lain. Sungguh tidak banyak yang berhasil mengambil jalan keduanya secara seimbang.

Orang tua, apabila memiliki latar belakang kehidupan agama dan spiritualitas yang kuat, dimana dia bukan hanya meng-imani agama (Islam), namun mengilmui dan menjalankan, maka akan merindukan generasi yang mampu mengkaji (bukan hanya mengaji) agama ini dari sumbernya. Dalam tataran praktis mampu membaca literatur kitab berbahasa Arab (baca : kitab kuning dengan segala varian kontemporer-nya). Di sisi lain, orang tua juga merindukan generasi yang memiliki peran besar dalam kehidupan dunia, semisal menjadi menjadi insinyur, dokter, atau ekonom handal.

Menjadikan seorang anak memiliki kemampuan maksimal dalam dua dunia tersebut, tentu tidaklah mudah. Bahkan, dalam tataran praktis terlihat canggung. Kecanggungan ini tergambar pada generasi serba tanggung. Generasi ini pada akhirnya justru tak mampu berkompetisi secara maksimal, di bidang kelilmuan agama tidak sepenuhnya kuat, namun dunia kerja juga amat berat berbuat.

Tiga paragraf kecil ini adalah bagian awalnya, dari sinilah diskusi panjang akan bermula.

Mencari Formulasi Ideal

Adanya generasi yang menguasai dan memahami dua ranah sekaligus, ranah sains dan ranah ilmu agama, sebenarnya sudah dipikirkan oleh para pendahulu kita. Adanya sekolah formal dalam pesantren, atau adanya sekolah di bawah departemen agama dengan konten ilmu agama yang lebih banyak disamping ilmu umum (MIN,MTsN, MAN, UIN) telah banyak bertebaran di mana-mana.

Hasilnya, meskipun tidak banyak dan mendominasi, beberapa alumni sekolah dan pesantren telah mulai mewarnai kehidupan generasi muda Indonesia.  Dikalangan NU mereka dikenal sebagai kultur hybrid, generasi muda dengan dasar ilmu agama yang cukup (santri alumni pesantren), namun menguasai ranah ilmu dan sains yang mumpuni. Di kampus-kampus PTN, alumni sekolah dibawah naungan departemen agama atau pesantren dengan sekolah formal juga mulai banyak bermunculan.

Namun, apabila ditelisik lebih dalam, mayoritas dari mereka (sekali lagi mayoritas) tidak mampu menembus persaingan global menembus Universitas bereputasi, baik  nasional maupun internasional. Kalaupun ada, hanya bisa dihitung dengan jari saja. Tentu, tidak semata-mata faktor sekolah atau pesantren bersangkutan, ada beberapa faktor lain yang juga menjadi penentu, seperti kualitas murid dan santri, yang saat masuk mereka memiliki tingkat kemampuan yang pasti berbeda. Dan yang perlu menjadi titik tekan adalah sekolah tersebut diatas, bagi sebagian besar  orangtua masih menjadi pilihan kedua atau kesekian, bukan menjadi pilihan utama dan pertama. 

Maka, agar sekolah dan pesantren bisa menjadi pilihan pertama, dan mendapatkan bahan baku dasar berkualitas, sekolah dan pesantren harus mampu menunjukkan bahwa proses belajar dan alumninya mampu bersaing dengan lulusan dan alumni sekolah-sekolah lain yang memiliki reputasi, dengan konsep yang tetap tidak boleh ditinggalkan, lulusan memiliki dasar agama yang kuat dan bekal keilmuan umum yang mumpuni.

Seperti apakah formulasi pendidikan pesantren ideal, dengan output sebagaimana deskripsi diatas  ?