Hidup ini merupakan suatu perputaran yang berulang-ulang.
Pagi, siang, sore dan kemudian tibalah waktu malam. Setelah malam hilang, muncul fajar, dan akan muncul pagi kembali. Kehidupan manusia dimulai dari rahim, lahir, balita,
anak, remaja, dewasa dan manula. Setiap anak akan menjadi orang tua pada
waktunya, dan akan melahirkan anak-anak dan generasi berikutnya. Demikianlah waktu
berputar dari generasi ke generasi.
Bagian akhir dari perjalanan kehidupan adalah perpisahan
dari dunia fana. Belum lama kita mendengar kematian guru-guru kita, esok hari
kita mendengar kematian sahabat kita. Belum lama kita menghikmati wafatnya
orang tua kita, terdengar kabar meninggalnya murid atau mahasiswa kita. Betapa
kehidupan demikian cepat, waktu demikian pendek.
Maka, saat mendengar kematian mereka, saat kita mengantarkan
jenazah ke pekuburan mereka, kita menyampaikan salam kepada sang mati, dan kita
berkata dengan penuh keyakinan, “Kami insyaAllah akan menyusul kalian.”
Maka, perpisahan dengan dunia fana yang bagaimanakah yang
kita hadapi nanti, kematian seperti apakah yang kita harapkan ? tak satupun
tahu sisa usia kita, betapa banyak bayi dalam rahim telah kehilangan ruh
sebelum mereka lahir ke dunia. Berapa banyak pula balita yang meninggal sebelum
mereka mencapai usia dewasa. Tak seorangpun mengerti seberapa panjang sisa
usianya, adakah sehasta atau sedepa.
Karena kematian, perpisahan dengan dunia fana, menuju dunia
abadi adalah suatu kepastian dan keniscayaan, terserah pada kita semua, akankah
memilih kematian yang indah dan husnul khatimah, ataukah kematian yang buruk
atau su’ul khatimah.
Kematian yang indah adalah kematian dalam keimanan, kematian
dalam Tauhid. Sabda Rasulullah “ Barang siapa akhir kalamnya La Ilaha Illallah
akan masuk Sorga.” Siapakah kita ini sekarang, adakah akhir hayat kita akan fasih melafalkan
kalimat tersebut ?
Kematian, berpisahnya jasad dari ruh, digambarkan oleh
Rasulullah sebagai hal yang sangat menyakitkan dan menakutkan. Saat kesakitan
itu sangat, saat ketakutan itu mencekam, maka kesadaran dan logika kita akan
kabur. Yang muncul adalah aktivitas bawah sadar kita. Ucapan dan suasana batin
akhir hayat kita akan ditentukan oleh memori dalam otak kita yang kita rawat
selama hidup, bukan memori yang baru kita bangun di akhir hayat.
Marilah kita lihat orang tua. Sebagaimana dalam surat Yasin
dijelaskan “ Barangsiapa ditambahkan umurnya, makan akan dikembalikan kembali
kemasa awal kejadiannya.” Yang tersisa di dalam otaknya adalah memori jangka
panjangnya. Memori jangka panjang di bentuk tidak dalam sekali dua kali paparan, tidak dalam satu dua waktu.
Pembentukan memori jangka panjang memerlukan usaha dan repetisi.
Dalam neurologi, memori dapat singkat sesaat, working memory. Bisa merupakan memori jangka pendek, short term memory, dan dapat merupakan memori jangka
panjang, long term memory. Memori
sesaat dan memori jangka pendek adalah memori yang terganggu fungsinya saat
memasuki usia tua. Memori sesaat berada di prefrontal korteks, ia berhubungan
dengan atensi dan konsentrasi. Ia berhubungan dengan fungsi eksekutif , organizing
dan planning. Memori ini merupakan jalan masuk bagi memori jangka pendek dan
jangka panjang. Selama memori sesaat ini berfungsi, kemungkinan untuk menyimpan
segala sesuatu dalam memori jangka pendek dan jangka panjang masih sangat
memungkinkan.
Saat seseorang terkejut, panik, ketakutan, yang hadir dalam
kekalutannya adalah memori jangka panjang. Akal, yang merupakan representasi
fungsi eksekutif, tidak lagi berfungsi, yang tersisa adalah kalbu. Kalbu atau hati merupakan
representasi memori jangka panjang yang terbentuk bertahun-tahun dan di asah secara terus menerus. Kalbu ini adalah nurani. Maka tatkala seseorang dianggap tidak
memiliki hati nurani, sesunggunya dia tidak memiliki dan menjalani proses pembentukan memori
jangka panjang yang positif, yang dia miliki adalah proses pembentukan memori
jangka panjang yang negatif. Nurani, adalah representasi memori jangka panjang
positif, dalam kondisi sadar merupakan sumber pertimbangan yang muncul dalam
berbagai kekalutan.
Maka, terserah kepada kita, kembali kepada kita, apakah kita
akan menimbuni dan memenuhi otak kita dengan memori jangka panjang positif,
sehingga kita memiliki nurani yang peka, kalbu yang khusyuk ? ataukah akan kita
timbuni dan kita penuhi memori jangka panjang dengan segala sesuatu yang negatif dan destruktif ?
Karakter, baik budi, dan akhlaq terpuji sesungguhnya
bermula dari simpanan-simpanan memori yang terbentuk sejak awal kehidupan,
bertahun-tahun. Tatkala ia tersimpan dalam memori jangka panjang, sulit dan bahkan mustahil untuk
mengubahnya. Karena ia telah mengkristal dan menjadi ‘ilmul yaqin. Apakah ilmul
yaqin itu ? Ilmu yakin adalah ilmu yang bisa dijadikan sandaran. Tatkala ada
sesorang yang mampu membelah lautan ataupun memadamkan cahaya bulan, kemudian
dia mengatakan bahwa 10 dikurangi 3 adalah 5, maka tentu dia tidak akan mampu
mengubah keyakinan kita, apapun yang terjadi kita tetap meyakini bahwa 10
dikurangi 3 adalah 7. Inilah yang di maksud ilmul yaqih, dan keyakinan kita menjadi keyakinan haqqul yaqiin.
Karakter, adalah hasil yang berasal dari proses mental dan
bahan utamanya adalah limpahan dan timbunan memori jangka panjang, ini
merupakan suatu proses yang terus menerus dan memerlukan usaha keras. Karakter merupakan sikap, gesture, ungkapan dan perilaku dhohir yang bisa kita lihat dan nilai. Ia menggunaakan kekuatan ketiga memori secara simultan. Memori
jangka panjang adalah proses yang didapatkan dari modalitas sensorik otak,
mulai visual, auditorik, taktil dan deep sensibility.
“Lisanul haal, afshohu min lisanil maqaal.” begitu kata pepatah.
Mengapakah
contoh dan perilaku itu lebih tertanam penuh dalam otak sang murid di banding
kata-kata saja ? Karena contoh dan perilaku merupakan kumpulan cerita, sekuens.
Otak lebih mudah menyimpan memori yang berupa sekuens dibanding hanya
auditorik. Sekuens (memori tentang fakta dan peristiwa) merupakan memori yang
memiliki tempat penyimpanan yang lebih luas di otak di banding memori
auditorik dan sangat mudah disimpan menjadi memori jangka panjang. Sehingga, seseorang akan lebih mudah mengingat cerita dibanding
suatu pernyataan dan nasehat saja. Inilah mengapa, kitab-kitab sufi selalu didahului atau
diselingi kisah-kisah penuh hikmah. Inilah mengapa dalam Al-qur’an banyak sekali
kisah-kisah Nabi dan orang sholih.
Maka, kembali pada kehidupan akhir hayat, maka siapakah kita
yang akhir hayat kita mengucapkan lafadz La ilaha Illallah ? adalah dia yang
sepanjang hidupnya melafazdkan dan mengamalkan maknanya. Tidak ada Tuhan Selain
Allah, maka artinya kita membebaskan diri secara terus menerus dari penghambaan
terhadap benda dan penghambaan terhadap sesama. Kita melafadzkannya dalam
sholat, dzikir dan kehidupan keseharian kita, kita mengaktualisasikannya dalam aktivitas kehidupan
kita. Membebaskan diri terhadap dunia, artinya kita tidak menghamba pada dunia,
kita menghamba hanya pada Allah. Kita tidak tunduk pada kekuasaan dan kemauan
manusia, namun kita tunduk pada Allah semata.