zurich

zurich
Kolateral di tengah kota, Zurich Course Interventional Neuroradiology, Agustus 2016

Laman

Rabu, 12 November 2025

Di Masjid Nabawi: Kabarkanlah Tentang Ibu

Salam Ta'dzim untuk Baginda
Sampaikanlah,
Ibu kami, Nur Hidayati
Sungguh sepenuh hati
Mencintai Baginda Nabi

Beliau ajarkan kami,
Sejak kanak dan dini
Puisi Indah, 
Muhammad yang Agung
Sepanjang waktu melarung

Puisi itu dituliskan
Di kertas nurani,
Jiwa-jiwa kecil
Yang polos dan suci

Kisah dan sirah
Diceritakan, 
Pada kami dan para santri, 
Penuhi rumah kecil di sore hari

Pesan ibunda,
Wahai anakku
Lakukanlah ini,
Kerjakan itu,
Karena Nabi mengamalkan-nya

Hidari ini,
Jauhi itu,
Karena Nabi 
Tak menyukai-nya

Di Masjid Nabi
Salam Ta'dzim untuk Baginda
Mohonkanlah syafaat bagi Ibunda
Bahagialah saja berkumpul bersama Mereka, para pecinta

Jakarta, GA 324 CGK SBY, 8 Nov 2025

Senin, 10 November 2025

Neuron Tanpa Sinaps 

Ada... ruang di kepala kita,
yang dulu penuh cahaya,
kini... hanya gema logika.

Neuron menyala,
tapi tanpa sinaps.
Tak ada arus yang menghubungkan satu jiwa dengan jiwa lain,
hanya listrik dingin —
menyala, padam, menyala lagi —
otomatis.

Kita...
para penjaga kesadaran,
para pemelihara sistem saraf kehidupan,
perlahan berubah jadi mesin,
berfungsi sempurna... tanpa makna.

Kita bicara tentang empati,
tapi menuliskannya di laporan,
bukan di hati.
Kita mendiagnosis jiwa,
namun lupa menyembuhkan hening dalam diri sendiri.

Neuron tanpa sinaps — begitulah kita.
Saling tahu, tapi tak lagi terhubung.
Saling hadir, tapi tak benar-benar bersama.

Dan pada akhirnya...
bahkan otak yang paling brilian pun beku,
jika tiap neuron memilih berdiri sendiri,
lupa —
bahwa berpikir pun...
butuh cinta.

Minggu, 15 September 2024

Tanya Anakku, Mengapa ke Pesantren?

Ayah, Buat Apa Mondok?

Demikian tanya anakku

Aku tak bisa menjawab,

Angan melayang berpuluh tahun lalu

Kala Ayah Ibuku mengantarku ke gerbang pesantren

 

Ayah, bukankah mengaji bisa dari rumah?

Aku tak bisa menjawab

Imajinasi terbawa kembali,

Saat Ayah dan Ibu berbagi kisah,

Kala mereka menjadi santri

Hidup bersahaja dalam bimbingan Kiai

 

Ayah, kenapa harus Pondok Pesantren?

Aku tak bisa menjawab

Aku teringat,

Akan perih-nya menahan rindu

Akan betapa bernilai,

Detik demi detik waktu

Saat mereka mengunjungiku

 

Mencium tangan Ayahanda,

Menyembuhkan semua duka 

Peluk sayang Ibu,

Memudarkan rindu membeku

 

Ayah, apakah aku harus nyantri seperti Ayah?

Aku tak bisa menjawab

Aku teringat Ibu,

Yang setiap mengunjungiku bertanya,

Bagaimana makanmu, nak?

Sehatkah engkau?

Beliau selalu membawa sekotak susu,

Meskipun aku tak menyukai-nya

Beliau memberikan bekal tambahan,

Meskipun Ayah mencukupi-nya

 

Ayah, kenapa tidak menjawab?

Demikian tanya anakku

Maka, Aku sampaikan padanya,

Dengan kata terbata-bata,

 

Wahai anakku,

Kalau rasa terima kasih pada orang tua 

Hanya boleh diwakili oleh satu ungkapan saja

Ayah akan menyampaikan pada mereka,

“Terimakasih, sudah memberikan yang tak ternilai,

telah mengirim Aku ke pesantren.”

 

Dan sekarang,

Saat engkau bertanya, mengapa?

Jalani dan nikmati saja 

Nanti engkau akan merasakan-nya

 

Tentang rasa rindu dan duka,

Ayah dan Bunda juga merasakan-nya

Rasa yang kami gantikan dengan Doa

Berharap Rahmat dan Kasih Sayang-Nya


Surabaya, 16 September 2024.

(Maulid Sayyidina Muhammad SAW)